17 September 2012

Hujan



“Dia pacar kamu?”
“Yang mana?”
“Perempuan yang selalu jadi inspirasimu menulis.”
“Yang mana? Ada banyak.”
“Hoo.. Ada banyak. Dasar tukang nyepik.”
“Eh. Bukan. Maksudku ada banyak cerita yang kutulis. Inspirasinya beda-beda. Perempuan yang mana?”
“Yang paling banyak ada dalam ceritamu. Sepertinya cerita-ceritamu tipikal. Inspirasinya orang yang sama dan itu-itu saja. Selalu ada Sheila On 7.”
“Inspirasinya beda. Aku hanya menulisnya dengan hati yang sama.”
“Dengan cinta yang sama juga?”
“Bukan. Inspirasi tak selalu berarti cinta. Cintalah yang bisa mendatangkan inspirasi.”

Aku tak  tahu dia paham dengan kalimat ngawurku atau tidak. Tapi dari sudut mataku kulihat dia tersenyum lucu. Matanya menerawang, entah sedang memikirkan apa. Hujan yang mengguyur sejak maghrib belum juga reda. Masih menyisakan gerimis yang kalau nekad diterjang tetap akan membuat sakit kepala. Dia sedang tak membawa payung. Bodohnya, aku sedang tak memakai jaket. Seharusnya akan romantis kalau di gerimis seperti ini aku memberikan jaketku padanya. Aku akan berkata kalau lelaki berzodiak Taurus sepertiku tak pernah takut dengan air hujan. Aku juga akan berkata bahwa tak semua bidadari bisa tahan sakit kepala. Aku tak yakin dia akan menganggap kalimat itu lucu atau tidak. Tapi setidaknya dia pasti tersenyum. Dengan begitu hatiku yang menggigil kedinginan ini bisa mendapatkan penghangatnya.

Kunyalakan batang terakhir dari bungkus rokok menthol di tanganku, menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Aku kembali memandanginya.
“Apa lihat-lihat?”
“Aku nggak melihat. Cuma mengagumi.”
“Nggak bisa lebih keren dikit gombalnya?”
“....”

Aku diam. Bukan tak mau menjawab. Tapi menikmati waktu yang seakan berhenti saat kalimat itu meluncur dari bibirnya yang tetap tersenyum dengan cantiknya. Dan kalian terlalu cepat mengatakan ini adalah cerita tentang cinta. Bukankah sudah kukatakan tadi kalau inspirasi tak selalu berarti cinta?
***