17 September 2012

30 Detik Deduksi

“Semalam aku menonton film yang minggu lalu kamu copy,” katanya sambil menyerahkan kaleng dingin berisi minuman susu kedelai itu kepadaku. Aku menatapnya sekilas. Mengagumi kedua mata coklat dan senyum cantiknya yang malam ini tampak sedikit lain dari biasanya.
  “Oh ya? Bagaimana menurutmu?”
“Keren.” Jawabnya. “Aku tak menyangka ada yang bisa sepintar dan seteliti itu. Bisa mengetahui kebiasaan, pekerjaan bahkan kelemahan  orang hanya dengan melihat penampilannya sekilas.”
“Kalau kata orang jawa, ajining raga saka busana.”
“Maksudnya?”
“Dihargai atau tidaknya orang bisa dilihat dari penampilannya. Kurang lebih seperti itu.”
“Lho? Kenapa kurang lebih?”
“Aku sebenarnya tak paham benar maksudnya.”
“Bukannya kamu 100% jawa?”
“Mungkin tepatnya jawa murtad.” Jawabku.
“Aku kurang paham dengan kalimat-kalimat pepatah seperti itu.”

Dia tersenyum, lalu membuka sachet snack bantal berisi krim coklat itu dengan hati-hati, kemudian meletakkannya di atas meja.

Sampai di sini, sepertinya aku tak perlu lagi menceritakan kisah selanjutnya. 30 detik benar-benar kumanfaatkan untuk mengagumi lebih jauh wajah cantik dan sosok yang menghantui pikiranku sejak sebulan belakangan itu.
Selama 30 detik aku merasa sedang menjadi seorang kurator seni yang dihadapkan pada sebuah mahakarya sempurna. Selama 30 detik juga aku setengah mati berusaha menjaga mata dan senyumku agar tetap terlihat wajar dan tidak mesum. Selama 30 detik juga aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali dengan tiba-tiba menciumnya.

Well.. Kalian boleh sebut aku munafik, tapi sebenarnya aku bukan orang yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Mengagumi kecantikannya, itu sudah pasti. Tapi berpikir untuk menjalin hubungan dan komitmen bersama? Sungguh aku butuh waktu untuk sampai pada pemikiran itu.
Teman-temanku bilang aku terlalu banyak berpikir, terlalu banyak pertimbangan dan terlalu menakutkan hal-hal kurang penting atau belum terjadi. Itu sebabnya sampai sekarang aku belum juga menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pacar.

Memang sempat ada dua-tiga peluang yang lewat, tapi tetap saja ujung-ujungnya hubunganku jalan di tempat dan akhirnya berakhir sebelum sempat dimulai. Aku tak bisa terlalu rumit dalam memaknai cinta dan segala makna turunannya. Asalkan sudah saling menyayangi, buatku itu cukup. Aku bahkan tak peduli kalau perasaanku dibilang bukan cinta. Entahlah, aku juga tidak tahu apakah pemikiran sederhana itu bisa disebut kekurangan ataukah kelebihan.

Yang terjadi setelah 30 detik itu juga mungkin sudah bisa kalian duga. Deduksiku benar-benar asal ngomong dan berujung kalimat-kalimat gombal jayus yang mungkin sudah sering digunakan sejak jaman Soekarno masih berpacaran dengan Fatmawati.

Tapi ada satu hal yang kalian harus percaya. Sesuatu yang kulihat dari matanya, tapi tak kumasukkan dalam daftar deduksi gombal yang kujelaskan.
"Aku melihat orang lain di matanya. Seorang laki-laki. Aku tak tahu itu siapa. Mungkin mantan pacarnya, mungkin saja orang lain entah siapa dan entah dari mana yang dia kagumi bertahun-tahun kemudian mengecewakannya. Sekali lagi, aku butuh waktu untuk berpikir perasaan ini kulanjutkan atau tidak, kuperjuangkan atau tidak, atau jangan-jangan hanya mengulang kisah-kisah sebelumnya. Berakhir sebelum sempat dimulai."
***