“Semalam aku menonton film yang minggu lalu kamu copy,” katanya
sambil menyerahkan kaleng dingin berisi minuman susu kedelai itu
kepadaku. Aku menatapnya sekilas. Mengagumi kedua mata coklat dan senyum
cantiknya yang malam ini tampak sedikit lain dari biasanya.
“Oh ya? Bagaimana menurutmu?”
“Keren.” Jawabnya. “Aku tak menyangka ada yang bisa sepintar dan
seteliti itu. Bisa mengetahui kebiasaan, pekerjaan bahkan kelemahan
orang hanya dengan melihat penampilannya sekilas.”
“Kalau kata orang jawa, ajining raga saka busana.”
“Maksudnya?”
“Dihargai atau tidaknya orang bisa dilihat dari penampilannya. Kurang lebih seperti itu.”
“Lho? Kenapa kurang lebih?”
“Aku sebenarnya tak paham benar maksudnya.”
“Bukannya kamu 100% jawa?”
“Mungkin tepatnya jawa murtad.” Jawabku.
“Aku kurang paham dengan kalimat-kalimat pepatah seperti itu.”
Dia tersenyum, lalu membuka sachet snack bantal berisi krim coklat itu dengan hati-hati, kemudian meletakkannya di atas meja.
Sampai di sini, sepertinya aku tak perlu lagi menceritakan kisah
selanjutnya. 30 detik benar-benar kumanfaatkan untuk mengagumi lebih
jauh wajah cantik dan sosok yang menghantui pikiranku sejak sebulan
belakangan itu.
Selama 30 detik aku merasa sedang menjadi seorang
kurator seni yang dihadapkan pada sebuah mahakarya sempurna. Selama 30
detik juga aku setengah mati berusaha menjaga mata dan senyumku agar
tetap terlihat wajar dan tidak mesum. Selama 30 detik juga aku berusaha
menahan diri agar tidak lepas kendali dengan tiba-tiba menciumnya.
Well.. Kalian boleh sebut aku munafik, tapi sebenarnya aku bukan
orang yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Mengagumi
kecantikannya, itu sudah pasti. Tapi berpikir untuk menjalin hubungan
dan komitmen bersama? Sungguh aku butuh waktu untuk sampai pada
pemikiran itu.
Teman-temanku bilang aku terlalu banyak berpikir, terlalu
banyak pertimbangan dan terlalu menakutkan hal-hal kurang penting atau
belum terjadi. Itu sebabnya sampai sekarang aku belum juga menemukan
orang yang tepat untuk dijadikan pacar.
Memang sempat ada dua-tiga
peluang yang lewat, tapi tetap saja ujung-ujungnya hubunganku jalan di
tempat dan akhirnya berakhir sebelum sempat dimulai. Aku tak bisa
terlalu rumit dalam memaknai cinta dan segala makna turunannya. Asalkan
sudah saling menyayangi, buatku itu cukup. Aku bahkan tak peduli kalau
perasaanku dibilang bukan cinta. Entahlah, aku juga tidak tahu apakah
pemikiran sederhana itu bisa disebut kekurangan ataukah kelebihan.
Yang terjadi setelah 30 detik itu juga mungkin sudah bisa
kalian duga. Deduksiku benar-benar asal ngomong dan berujung
kalimat-kalimat gombal jayus yang mungkin sudah sering digunakan sejak
jaman Soekarno masih berpacaran dengan Fatmawati.
Tapi ada satu hal yang
kalian harus percaya. Sesuatu yang kulihat dari matanya, tapi tak
kumasukkan dalam daftar deduksi gombal yang kujelaskan.
"Aku melihat orang lain di matanya. Seorang laki-laki. Aku tak tahu
itu siapa. Mungkin mantan pacarnya, mungkin saja orang lain entah siapa
dan entah dari mana yang dia kagumi bertahun-tahun kemudian
mengecewakannya. Sekali lagi, aku butuh waktu untuk berpikir perasaan
ini kulanjutkan atau tidak, kuperjuangkan atau tidak, atau jangan-jangan
hanya mengulang kisah-kisah sebelumnya. Berakhir sebelum sempat
dimulai."
***