11 November 2012

Pemakaman


Kalau aku mati.
Datanglah ke rumahku, tanyakan penghuni lainnya, di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu rumahku.
Datanglah ke sahabatku, tanyakan di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu siapa sahabatku.
Datanglah ke teman-temanku, tanyakan di mana aku dimakamkan.
Kalau kau tidak tahu siapa teman-temanku.
Datanglah ke musuhku, tanyakan di mana aku dimakamkan, dia pasti tahu karena dialah yang paling mengharapkan kematianku.
Kalau kau tidak tahu siapa musuhku.
Datanglah ke tempat terakhir kita bertemu.
Di sana, jauh sebelum aku mati.
Aku sudah memakamkan diriku sendiri di depanmu.Tanpa sepengetahuanmu.

Catatan 40 Hari setelah kematian


hari ini, tepat sudah 40 hari sejak pemakamanku.Sekarang aku berada di depan seseorang yang pernah sangat kukenal.
Aku tahu, setiap malam dia melakukan hal yang selalu sama seperti yang sedang aku saksikan sekarang, merebahkan tubuh kecilnya yang semakin kurus di atas ranjang. Mata bulat coklatnya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, sesekali dirinya mengutuk air matanya sendiri menjadi mata air. Lagu-lagu bernada minor berlirik sendu dari laptop miliknya juga masih setia mendayu memenuhi seisi ruangan kamarnya dengan aroma khas parfum yang sering dia gunakan sehari-hari, harumnya lembut sekaligus pekat tetapi tidak terlalu menyengat.

Aku yakin, dia tidak pernah tahu kabarku dan dia tidak pernah mau untuk mencari tahu tentang keadaanku yang sekarang. Semenjak malam perpisahan kami empat puluh delapan hari yang lalu aku tidak pernah menghubungi dirinya, begitupun sebaliknya. Andai saja dia tahu, bukan karena aku sombong atau benar-benar menghapusnya dari ingatanku. Dari empat puluh delapan hari jeda perpisahan kami sampai hari ini, delapan hari yang aku lewati hari demi harinya aku gunakan untuk tetap berjuang mempertahankan nyawaku di ruang ICU. Sedangkan empat puluh hari sisanya aku gunakan di alam yang sudah tidak lagi sama.

Entah apa yang membuatku sampai hati untuk berkunjung ke rumahnya lalu masuk tanpa ijin ke kamarnya malam ini. Yang jelas aku senang karena ternyata aku tahu jika malam ini dia mengenakan baju pemberianku tiga bulan yang lalu.
“Apa kamu berniat mengenakan baju pemberianku itu untuk tidur?”, aku mencoba melontarkan pertanyaan yang aku sendiripun sudah tahu jika dia tidak akan pernah bisa mendengarnya.
Tetiba dia mencoba membangunkan tubuh kurusnya yang tadi sempat tertidur, kemudian dia terduduk sembari mengelap beberapa tetesan air mata yang mengalir dari kedua matanya yang bulat dengan menggunakan pergelangan tangan kanannya.

“Aku kangen..”, begitu kalimat yang terucap dari bibir tipisnya yang bergetar hebat karena menahan tangis.
Aku tidak ingin terlalu cepat merasa besar hati karena merasa dirindukan, mungkin saja saat ini dia hanya sekadar rindu dengan kekasih barunya yang entah itu siapa.“ah.. kalimat tadi pasti bukan untukku”, gumamku dalam hati untuk meyakinkan diriku sendiri.


Empat puluh delapan hari yang lalu

Sekitar pukul sebelas malam. Aku meninggalkan dia di teras rumahnya sesaat setelah kami memutuskan untuk berpisah, dia menamparku malam itu. Tamparan yang cukup panas di kulit pipiku, rasanya seperti terkena percikan bara rokok yang dengan sengaja dilempar hingga hinggap di kulit wajahku. Aku tidak membalas tamparannya, bagiku lelaki yang memukul wanita kedudukannya jauh lebih rendah daripada hewan yang paling najis di muka bumi.
“Maaf.. aku tahu aku salah, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini. Kita sudahi saja semuanya, silahkan kamu melanjutkan hidupmu yang baru dan aku akan memulai hidupku dengan membiasakan diri tanpa kehadiranmu”, ucapku dengan lantang dan penuh keyakinan di depannya saat itu.
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku setuju”, jawabnya singkat.

Tidak lama kemudian aku pamit dan menyalakan mesin motorku, aku arahkan kepalaku ke belakang untuk melihat wajahnya yang masih menangis. Ku tatap matanya dalam-dalam dari balik helm yang aku gunakan, sengaja aku pandangi raut wajahnya hanya untuk memastikan jika dia baik-baik saja. Siapa yang mengira itu terakhir kalinya dia menatap mataku.
Satu jam setelah perpisahan kami, saat itu otakku terlalu fokus kepada sakit yang aku terima satu jam sebelumnya, hingga lupa memperhatikan keadaan jalan.  Sampai akhirnya aku dikagetkan oleh cahaya yang menyilaukan, aku pikir itu pasti lampu truk berukuran cukup besar. Sial, semua sudah terlambat untuk menghindar. Motor beserta tubuhku dihantam truk berkecepatan tinggi saat perjalananku untuk kembali pulang ke rumah, akupun lupa bagaimana kejadian secara detailnya. Hari demi hari dalam ketidaksadaranku di ruang ICU, aku menunggu kedatangan dirinya yang mungkin saja berkenan untuk datang menjengukku. Aku memang tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarku saat itu, tapi paling tidak aku masih bisa mendengar. Berharap dia datang dan mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan semangatku untuk terbangun dari  koma berkepanjangan ini.
Delapan hari aku tetap setia menunggunya, dia tidak pernah datang dan Tuhan berkehendak lain atas kesembuhanku.


Di kamarnya
Dia masih menangis, suara lagu dari laptop miliknya masih mengiringi kesedihannya, seolah menjadi bagian soundtrack dari kesedihan yang dia ciptakan sendiri. Sepertinya dia semakin kacau malam ini, kalau saja aku bisa membaca pikirannya. Aku pasti tidak akan berlama-lama memperhatikannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia rasakan. Jika benar dia masih merindukanku, pasti dia akan mencari tahu kabar serta keberadaanku sekarang.
dia kembali beranjak ke tempat tidurnya. Kali ini dia merebahkan tubuhnya dengan gontai lalu menarik selimut dan memejamkan matanya diikuti aliran air mata yang terus menetes hingga membasahi baju yang sempat aku berikan kepadanya.
“Aku kangen..”, katanya.
Kali ini aku yakin, perkataan tadi pasti ditujukan untukku, lalu aku jawab dengan sangat lantang sekali walaupun aku tahu dia tetap tidak akan bisa mendengarnya.
“Aku juga..” kataku.

Kemudian dia kembali melanjutkan kesedihan yang diciptakannya sendiri sebelum tidur dengan diiringi lagu-lagu yang masih setia melantun dari laptop miliknya yang sengaja dia letakan di atas meja, tepat di pojok kamar yang berhadapan langsung dengan ranjang yang menjadi tempat dia tertidur.
Dan aku, seketika pandanganku menjadi gelap, seolah ada sesuatu yang menarik tubuhku entah kemana dengan sangat kuat.  Ah iya.. aku lupa, sekarang sudah masuk pukul dua belas malam, itu berarti sekarang sudah lebih dari empat puluh hari sejak pemakamanku.
Semoga Tuhan tidak membawaku menuju neraka.

September 2012